KEARIFAN LOKAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK KEAGAMAAN
This article aims to analyze relation between local wisdom within religion conflicts resolution in post conflict divided society of Maluku. In the case of Maluku conflict religion was not core sources, but rivalry among societal element to compete for bureaucracy position and economic-politic resour...
Main Author: | |
---|---|
Format: | Article |
Language: | English |
Published: |
Walisongo State Islamic University
2013-12-01
|
Series: | Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan |
Subjects: | |
Online Access: | http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/251 |
id |
doaj-a8645ba9d8194823b12f683cf780584f |
---|---|
record_format |
Article |
spelling |
doaj-a8645ba9d8194823b12f683cf780584f2020-11-25T00:30:57ZengWalisongo State Islamic UniversityWalisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan0852-71722461-064X2013-12-0121239341610.21580/ws.2013.21.2.251256KEARIFAN LOKAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK KEAGAMAANWasisto Raharjo Jati0Gadjah Mada University, YogyakartaThis article aims to analyze relation between local wisdom within religion conflicts resolution in post conflict divided society of Maluku. In the case of Maluku conflict religion was not core sources, but rivalry among societal element to compete for bureaucracy position and economic-politic resources. Religion is only becoming supporting conflict which provides moral legitimation and politic identity to strike others. The history of Maluku conflict indicated by subordination and domination relations that resulted discrimination and marginalization amidst society. The fallacy of the new order regime in 1999 can be said conflict escalation in Maluku that murdered million innocent peoples. Maluku conflict had resolved by Malino peace treaty in 2002 and 2003, however potency of conflict in grassroots can be reduced by local wisdom values. Pela gandong as local wisdom had a pivotal role in reconciliation process to recapitalize social capital which cracked during conflict. In addition to local wisdom, representation in bureaucracy also hold role player to reducing social gap between society elemental in Maluku. *** Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kearifan lokal sebagai resolusi konflik keagamaan di masyarakat pasca konflik Maluku. Dalam kasus konflik Maluku, agama bukanlah sumber utama, namun rivalitas antar elemen masyarakat dalam memperebutkan sumber daya ekonomi-politik dan birokrasi yang menjadi permasalahannya. Agama hanya menjadi faktor pendukung yang menyediakan adanya legitimasi moral dan identitas politik untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Sejarah konflik Maluku ditandai dengan relasi subordinasi dan dominasi yang menghasilkan adanya diskriminasi dan marjinalisasi di tengah masyarakat. Jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1999 dapat dikatakan sebagai puncak konflik Maluku yang telah membunuh jutaan nyawa manusia tidak bersalah. Konflik Maluku telah diselesaikan melalui perjanjian damai Malino tahun 2002 dan 2003, namun demikian potensi konflik di akar masyarakat dapat dikurangi melalui nilai-nilai kearifan lokal. Pela gandong sebagai kearifan lokal mempunyai peran penting dalam rekonsiliasi dengan menyatukan kembali solidaritas masyarakat yang terpecah selama konflik. Selain halnya kearifan lokal, representasi dalam birokrasi juga memegang peran utama dalam mereduksi kesenjangan sosial antara elemen masyarakat di Maluku.http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/251kearifan lokalpela gandongresolusi konflikkonflik Maluku |
collection |
DOAJ |
language |
English |
format |
Article |
sources |
DOAJ |
author |
Wasisto Raharjo Jati |
spellingShingle |
Wasisto Raharjo Jati KEARIFAN LOKAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK KEAGAMAAN Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan kearifan lokal pela gandong resolusi konflik konflik Maluku |
author_facet |
Wasisto Raharjo Jati |
author_sort |
Wasisto Raharjo Jati |
title |
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK KEAGAMAAN |
title_short |
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK KEAGAMAAN |
title_full |
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK KEAGAMAAN |
title_fullStr |
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK KEAGAMAAN |
title_full_unstemmed |
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK KEAGAMAAN |
title_sort |
kearifan lokal sebagai resolusi konflik keagamaan |
publisher |
Walisongo State Islamic University |
series |
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan |
issn |
0852-7172 2461-064X |
publishDate |
2013-12-01 |
description |
This article aims to analyze relation between local wisdom within religion conflicts resolution in post conflict divided society of Maluku. In the case of Maluku conflict religion was not core sources, but rivalry among societal element to compete for bureaucracy position and economic-politic resources. Religion is only becoming supporting conflict which provides moral legitimation and politic identity to strike others. The history of Maluku conflict indicated by subordination and domination relations that resulted discrimination and marginalization amidst society. The fallacy of the new order regime in 1999 can be said conflict escalation in Maluku that murdered million innocent peoples. Maluku conflict had resolved by Malino peace treaty in 2002 and 2003, however potency of conflict in grassroots can be reduced by local wisdom values. Pela gandong as local wisdom had a pivotal role in reconciliation process to recapitalize social capital which cracked during conflict. In addition to local wisdom, representation in bureaucracy also hold role player to reducing social gap between society elemental in Maluku.
***
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kearifan lokal sebagai resolusi konflik keagamaan di masyarakat pasca konflik Maluku. Dalam kasus konflik Maluku, agama bukanlah sumber utama, namun rivalitas antar elemen masyarakat dalam memperebutkan sumber daya ekonomi-politik dan birokrasi yang menjadi permasalahannya. Agama hanya menjadi faktor pendukung yang menyediakan adanya legitimasi moral dan identitas politik untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Sejarah konflik Maluku ditandai dengan relasi subordinasi dan dominasi yang menghasilkan adanya diskriminasi dan marjinalisasi di tengah masyarakat. Jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1999 dapat dikatakan sebagai puncak konflik Maluku yang telah membunuh jutaan nyawa manusia tidak bersalah. Konflik Maluku telah diselesaikan melalui perjanjian damai Malino tahun 2002 dan 2003, namun demikian potensi konflik di akar masyarakat dapat dikurangi melalui nilai-nilai kearifan lokal. Pela gandong sebagai kearifan lokal mempunyai peran penting dalam rekonsiliasi dengan menyatukan kembali solidaritas masyarakat yang terpecah selama konflik. Selain halnya kearifan lokal, representasi dalam birokrasi juga memegang peran utama dalam mereduksi kesenjangan sosial antara elemen masyarakat di Maluku. |
topic |
kearifan lokal pela gandong resolusi konflik konflik Maluku |
url |
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/251 |
work_keys_str_mv |
AT wasistoraharjojati kearifanlokalsebagairesolusikonflikkeagamaan |
_version_ |
1725324736181829632 |