Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelanggaran Batas Minimal Usia Perkawinan
Pancasila sebagai ideologi bangsa yang didalamnya terkandung nilai-nilai sebagai falsafah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dimana nilai kemanusian sebagai wujud kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan keb...
Main Author: | |
---|---|
Format: | Article |
Language: | English |
Published: |
Faculty of Law, Universitas Lampung
2020-09-01
|
Series: | Pancasila and Law Review |
Online Access: | https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/plr/article/view/2063 |
Summary: | Pancasila sebagai ideologi bangsa yang didalamnya terkandung nilai-nilai sebagai falsafah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dimana nilai kemanusian sebagai wujud kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya, secara umum dapat dikatakan bahwa manusia bebas melakukan apapun sesuai keinginannya, salah satunya adalah melakukan perkawinan. Namun, perkawinan pada anak usia dini telah menyebabkan beberapa faktor diantaranya, kehilangan hak yang seharusnya dia dapatkan sejak kecil. Banyaknya pemberitaan mengenai perkawinan anak di Indonesia dan pertentangan aturan antara kedua Undang-Undang (UU), yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hal ini merupakan alasan penulis meneliti perkawinan anak dari dua sudut Undang-Undang. Secara umum penegakan hukum pelanggaran minimal usia perkawinan dari tahap formulasi sudah bermasalah dimana UU Perlindungan Anak tidak mencantumkan UU Perkawinan dalam konsideran mengingat, tahap aplikasi bagaimana bisa berjalan dengan maksimal jika tahap formulasi sudah bermasalah, serta tahap eksekusi bagaimana bisa memberikan manfaat jika terjadi perbedaan multi tafsir dalam penegakan dan pelaksanaan aturan perkawinan anak walaupun UU Perlindungan Anak tidak dapat dihalangi walaupun sudah melakukan perkawinan sesuai UU Perkawinan. Faktor penghambat penegakan hukum yang paling mendasar adalah terletak pada ketidakcukupan atau ketidaklengkapan aturan perundang-undangannya, sehingga banyak terjadi apa yang disebut dengan “multi tafsir” dan akhirnya muncul keragua-raguan dalam penegakan hukumnya. Kondisi seperti ini pada akhirnya nanti tentu akan memunculkan apa yang dikenal dengan istilah “hukum retroaktif” yang tentunya penuh dengan spekulasi, dan hal ini sangat berbahaya bagi tegaknya supremasi hukum. Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak harus direvisi dan kedua Undang-Undang tersebut menyamakan aturannya terutama mengenai aturan perkawinan anak. Revisi ini perlu dilakukan agar tidak membingungkan dan memberikan kepastian hukum terkait perkawinan anak. Perlu dicantumkan UU Perkawinan dalam konsideran “Mengingat” dalam UU Perlindungan Anak. Kedua Undang-undang harus mencantumkan aturan mengenai perkawinan anak diatur dalam pasal UU Perlindungan Anak sehingga kedua Undang-undang ini harmonisasi satu sama lain sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Penelitian dilakukan dengan jenis pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini juga dengan melihat fakta-fakta dan wawancara dengan responden untuk mengumpulkan pendapat tentang penegakan hukum dan faktor penghambat penegakan hukum pelanggaran batas minimal usia perkawinan. |
---|---|
ISSN: | 2723-262X 2745-9306 |