DINAMIKA ARSITEKTUR INDONESIA DAN REPRESENTASI ‘POLITIK IDENTITAS’ PASCA REFORMASI
ABSTRAK. Menguatnya politik identitas di Indonesia pasca reformasi telah melahirkan formasi arsitektur baru yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Identitas budaya terkait indigenitas menjadi bagian dari politik identitas yang menurut sebagian pengamat politik disinyalir dimanfaatkan para el...
Main Author: | |
---|---|
Format: | Article |
Language: | Indonesian |
Published: |
Universitas Muhammadiyah Jakarta
2018-01-01
|
Series: | Nalars |
Online Access: | https://jurnal.umj.ac.id/index.php/nalars/article/view/1958 |
id |
doaj-4bf8dcc2862b43a1a073d02987eb5c72 |
---|---|
record_format |
Article |
collection |
DOAJ |
language |
Indonesian |
format |
Article |
sources |
DOAJ |
author |
kemas ridwan kurniawan |
spellingShingle |
kemas ridwan kurniawan DINAMIKA ARSITEKTUR INDONESIA DAN REPRESENTASI ‘POLITIK IDENTITAS’ PASCA REFORMASI Nalars |
author_facet |
kemas ridwan kurniawan |
author_sort |
kemas ridwan kurniawan |
title |
DINAMIKA ARSITEKTUR INDONESIA DAN REPRESENTASI ‘POLITIK IDENTITAS’ PASCA REFORMASI |
title_short |
DINAMIKA ARSITEKTUR INDONESIA DAN REPRESENTASI ‘POLITIK IDENTITAS’ PASCA REFORMASI |
title_full |
DINAMIKA ARSITEKTUR INDONESIA DAN REPRESENTASI ‘POLITIK IDENTITAS’ PASCA REFORMASI |
title_fullStr |
DINAMIKA ARSITEKTUR INDONESIA DAN REPRESENTASI ‘POLITIK IDENTITAS’ PASCA REFORMASI |
title_full_unstemmed |
DINAMIKA ARSITEKTUR INDONESIA DAN REPRESENTASI ‘POLITIK IDENTITAS’ PASCA REFORMASI |
title_sort |
dinamika arsitektur indonesia dan representasi ‘politik identitas’ pasca reformasi |
publisher |
Universitas Muhammadiyah Jakarta |
series |
Nalars |
issn |
1412-3266 2549-6832 |
publishDate |
2018-01-01 |
description |
ABSTRAK. Menguatnya politik identitas di Indonesia pasca reformasi telah melahirkan formasi arsitektur baru yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Identitas budaya terkait indigenitas menjadi bagian dari politik identitas yang menurut sebagian pengamat politik disinyalir dimanfaatkan para elit dan penguasa untuk kepentingan politik kekuasaan. Ironisnya, dalam bidang arsitektur, definisi tentang identitas ini justru semakin tidak jelas. Definisi-definisi ini berputar pada debat tentang pencarian jati diri yang tidak pernah selesai dan sering diasosiasikan dengan proses untuk memunculkan jati diri kebudayaan sebagai jawaban atas tantangan universalitas arsitektur modern, globalisasi dan kemajuan teknologi.
Makalah ini mencoba mengambil dari sudut pandang yang berbeda yaitu politik identitas dalam silangannya dengan arsitektur (‘space’), waktu (sejarah) dan aspek sosial-politik. Isu yang muncul adalah bagaimana politik identitas perlahan-lahan melanjutkan pengaruhnya dalam formasi arsitektur di Indonesia pasca reformasi, di balik kesalah-pahaman tentang definisi ‘identitas’ dalam debat-debat arsitektur di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak arsitek atau teoretikus arsitektur di Indonesia membatasi dirinya hanya dalam lingkup arsitektur, dan gagal berinteraksi secara lebih luas dengan isu-isu sosio politik. Konsekuensinya, di satu sisi, istilah ‘identitas’ kehilangan pengaruh sosio-politiknya dan direduksi kepada masalah-masalah estetika visual semata, yang mengaburkan identitas arsitektur sebagai suatu konsep sosial budaya. Sementara itu, di sisi lain pemanfaatan identitas sebagai bagian dari komoditas politik juga melanjutkan dinamika yang terjadi di daerah (regional) yaitu warna kekuasaan (power) dalam formasi arsitektur di Indonesia sebagai imbas dari Desentralisasi. Makalah ini mengkritisi perilaku politik identitas yang cenderung berubah menjadi ‘regime’ dalam formasi identitas arsitektur saat ini, dan kurang terangkatnya isu identitas arsitektur dengan dinamika sosio-politik dan keseharian (‘everyday-life’) masyarakat.
Kata Kunci: subjektivitas, hibrid, indigenitas, pasca-nasionalisme
ABSTRACT. Straighthening the politics of identity in Indonesia after the 1997 political reformation has increased the formation of new architecture which are scattered in various regions in Indonesia. The cultural identity on indigeneity and become part of identity politics. It was exploited by elites and rulers for the sake of power politics. Ironically, in the field of architecture, the definition of this identity is even more unclear. These definitions spin on the debate about the search for identity that was never finished and is often associated with the process to bring a cultural identity as a response to the challenges of modern architecture such as universality, globalization and technological progress.
This paper tried to look at architecture (space) in the intersection with time (history) and socio-political aspects. The issue that arises is how the politics of identity is slowly continuing influence in the formation of architecture in Indonesia after the 1997 political reform, under misconceptions about the definition of 'identity' in debates of architecture in Indonesia. This happens because many architects or architectural theorists in Indonesia restricts itself only in the sphere of architecture, and failed to interact more broadly with social and political issues. Consequently, on the one hand, the term 'identity' loss of the socio-political influences and are reduced to a visual aesthetic problems alone, which obscure the identity of architecture as a socio-cultural concept. Meanwhile, on the other hand the use of identity as part of a political commodity also continue the dynamics that occur in the area (regional) is the color of power (power) in the formation of architecture in Indonesia as the impact of decentralization. The paper criticized the behavior of identity politics that tends to turn into a 'regime' in the current architectural identity formation, and less lifting of architecture with issues of identity and everyday social and political dynamics ( 'everyday-life') of community.
Keywords: subjectivity, hybrid, indigeneity, post-nationalism |
url |
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/nalars/article/view/1958 |
work_keys_str_mv |
AT kemasridwankurniawan dinamikaarsitekturindonesiadanrepresentasipolitikidentitaspascareformasi |
_version_ |
1725411449924222976 |
spelling |
doaj-4bf8dcc2862b43a1a073d02987eb5c722020-11-25T00:09:31ZindUniversitas Muhammadiyah JakartaNalars1412-32662549-68322018-01-01171657810.24853/nalars.17.1.65-781786DINAMIKA ARSITEKTUR INDONESIA DAN REPRESENTASI ‘POLITIK IDENTITAS’ PASCA REFORMASIkemas ridwan kurniawan0Department of Architecture Universitas IndonesiaABSTRAK. Menguatnya politik identitas di Indonesia pasca reformasi telah melahirkan formasi arsitektur baru yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Identitas budaya terkait indigenitas menjadi bagian dari politik identitas yang menurut sebagian pengamat politik disinyalir dimanfaatkan para elit dan penguasa untuk kepentingan politik kekuasaan. Ironisnya, dalam bidang arsitektur, definisi tentang identitas ini justru semakin tidak jelas. Definisi-definisi ini berputar pada debat tentang pencarian jati diri yang tidak pernah selesai dan sering diasosiasikan dengan proses untuk memunculkan jati diri kebudayaan sebagai jawaban atas tantangan universalitas arsitektur modern, globalisasi dan kemajuan teknologi. Makalah ini mencoba mengambil dari sudut pandang yang berbeda yaitu politik identitas dalam silangannya dengan arsitektur (‘space’), waktu (sejarah) dan aspek sosial-politik. Isu yang muncul adalah bagaimana politik identitas perlahan-lahan melanjutkan pengaruhnya dalam formasi arsitektur di Indonesia pasca reformasi, di balik kesalah-pahaman tentang definisi ‘identitas’ dalam debat-debat arsitektur di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak arsitek atau teoretikus arsitektur di Indonesia membatasi dirinya hanya dalam lingkup arsitektur, dan gagal berinteraksi secara lebih luas dengan isu-isu sosio politik. Konsekuensinya, di satu sisi, istilah ‘identitas’ kehilangan pengaruh sosio-politiknya dan direduksi kepada masalah-masalah estetika visual semata, yang mengaburkan identitas arsitektur sebagai suatu konsep sosial budaya. Sementara itu, di sisi lain pemanfaatan identitas sebagai bagian dari komoditas politik juga melanjutkan dinamika yang terjadi di daerah (regional) yaitu warna kekuasaan (power) dalam formasi arsitektur di Indonesia sebagai imbas dari Desentralisasi. Makalah ini mengkritisi perilaku politik identitas yang cenderung berubah menjadi ‘regime’ dalam formasi identitas arsitektur saat ini, dan kurang terangkatnya isu identitas arsitektur dengan dinamika sosio-politik dan keseharian (‘everyday-life’) masyarakat. Kata Kunci: subjektivitas, hibrid, indigenitas, pasca-nasionalisme ABSTRACT. Straighthening the politics of identity in Indonesia after the 1997 political reformation has increased the formation of new architecture which are scattered in various regions in Indonesia. The cultural identity on indigeneity and become part of identity politics. It was exploited by elites and rulers for the sake of power politics. Ironically, in the field of architecture, the definition of this identity is even more unclear. These definitions spin on the debate about the search for identity that was never finished and is often associated with the process to bring a cultural identity as a response to the challenges of modern architecture such as universality, globalization and technological progress. This paper tried to look at architecture (space) in the intersection with time (history) and socio-political aspects. The issue that arises is how the politics of identity is slowly continuing influence in the formation of architecture in Indonesia after the 1997 political reform, under misconceptions about the definition of 'identity' in debates of architecture in Indonesia. This happens because many architects or architectural theorists in Indonesia restricts itself only in the sphere of architecture, and failed to interact more broadly with social and political issues. Consequently, on the one hand, the term 'identity' loss of the socio-political influences and are reduced to a visual aesthetic problems alone, which obscure the identity of architecture as a socio-cultural concept. Meanwhile, on the other hand the use of identity as part of a political commodity also continue the dynamics that occur in the area (regional) is the color of power (power) in the formation of architecture in Indonesia as the impact of decentralization. The paper criticized the behavior of identity politics that tends to turn into a 'regime' in the current architectural identity formation, and less lifting of architecture with issues of identity and everyday social and political dynamics ( 'everyday-life') of community. Keywords: subjectivity, hybrid, indigeneity, post-nationalismhttps://jurnal.umj.ac.id/index.php/nalars/article/view/1958 |