Sonor dan Bias “Cetak Sawah” di Lahan Gambut
Abstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice field called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an...
Main Author: | |
---|---|
Format: | Article |
Language: | English |
Published: |
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta
2018-08-01
|
Series: | BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan |
Subjects: | |
Online Access: | http://www.jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/216 |
id |
doaj-3d1a28b8b6bb4e2390e6af9441300a6b |
---|---|
record_format |
Article |
spelling |
doaj-3d1a28b8b6bb4e2390e6af9441300a6b2020-11-24T23:28:37ZengSekolah Tinggi Pertanahan Nasional YogyakartaBHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan2442-69542580-21512018-08-0141678710.31292/jb.v4i1.216160Sonor dan Bias “Cetak Sawah” di Lahan GambutCiptaningrat LarastitiAbstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice field called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern field rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fire disaster in 2015. The research was done a year after forest fire 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swidden agriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, first, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social differentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean of peasant exclusion. Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimana proyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metode etnografi yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untuk pengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terus menyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gap yang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudah ada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani.http://www.jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/216lahan gambutcetak sawahbias pembangunanperladangan sonordinamika sosial ekologis. |
collection |
DOAJ |
language |
English |
format |
Article |
sources |
DOAJ |
author |
Ciptaningrat Larastiti |
spellingShingle |
Ciptaningrat Larastiti Sonor dan Bias “Cetak Sawah” di Lahan Gambut BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan lahan gambut cetak sawah bias pembangunan perladangan sonor dinamika sosial ekologis. |
author_facet |
Ciptaningrat Larastiti |
author_sort |
Ciptaningrat Larastiti |
title |
Sonor dan Bias “Cetak Sawah” di Lahan Gambut |
title_short |
Sonor dan Bias “Cetak Sawah” di Lahan Gambut |
title_full |
Sonor dan Bias “Cetak Sawah” di Lahan Gambut |
title_fullStr |
Sonor dan Bias “Cetak Sawah” di Lahan Gambut |
title_full_unstemmed |
Sonor dan Bias “Cetak Sawah” di Lahan Gambut |
title_sort |
sonor dan bias “cetak sawah” di lahan gambut |
publisher |
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta |
series |
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan |
issn |
2442-6954 2580-2151 |
publishDate |
2018-08-01 |
description |
Abstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice field called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern field rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fire disaster in 2015. The research was done a year after forest fire 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swidden agriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, first, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social differentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean of peasant exclusion.
Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimana proyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metode etnografi yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untuk
pengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terus menyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gap
yang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudah ada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani. |
topic |
lahan gambut cetak sawah bias pembangunan perladangan sonor dinamika sosial ekologis. |
url |
http://www.jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/216 |
work_keys_str_mv |
AT ciptaningratlarastiti sonordanbiascetaksawahdilahangambut |
_version_ |
1725548827890417664 |