TINGKAT PENGGUNAAN MULTI AKAD DALAM FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL–MAJELIS ULAMA INDONESIA (DSN-MUI)
<p align="center"><strong>Abstrak:</strong></p><p>Artikel ini bermula dari persoalan tentang hukum multi akad dan level penggunaannya dalam fatwa DSN-MUI (Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia). Untuk menganalisis persoalan tersebut, penulis mengguna...
Main Author: | |
---|---|
Format: | Article |
Language: | Arabic |
Published: |
State College of Islamic Studies Pamekasan (STAIN Pamekasan)
2016-07-01
|
Series: | Al Ihkam: Jurnal Hukum & Pranata Sosial |
Subjects: | |
Online Access: | http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/alihkam/article/view/862 |
Summary: | <p align="center"><strong>Abstrak:</strong></p><p>Artikel ini bermula dari persoalan tentang hukum multi akad dan level penggunaannya dalam fatwa DSN-MUI (Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia). Untuk menganalisis persoalan tersebut, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif <em>(normatie legal research)</em> dengan pendekatan konseptual. Fakta bahwa fatwa DSN-MUI banyak mengadopsi akad-akad baik yang bersifat tunggal maupun multi (<em>al-’uqûd al-murakkabah</em>). Multi akad ada yang bersifat alamiah (<em>al-‘uqûd al-</em><em>murakkabah al-thabî’îyah</em>) dan hukumnya diperbolehkan. Sedangkan multi akad hasil modifikasi (<em>al-‘uqûd al-</em><em>murakkabah al-ta’dîlah</em>) hukumnya masih tergantung dari bagaimana bentuk modifikasinya. Jika modifikasi akad tidak melanggar prinsip Sunnah tentang penggabungan akad, maka hukumnya diper- bolehkan. Begitu pula sebaliknya, jika terjadi penggabungan akad se- hingga terdapat keterkaitan (<em>mu’allaq</em>), maka haram hukumnya. Dari total akad yang diadopsi dalam fatwa DSN-MUI, ada sekitar 60,68 % yang menggunakan akad secara tunggal dan sisanya 39,32 % melalui pendekatan multi akad agar dapat diterapkan dalam transaksi modern.</p><p align="center"> <strong>Abstract:</strong></p><p>This article begins from issues of the law of hybrid contracts and the level of their using in the fatwa of DSN-MUI (National<em> </em><em>Sharia Board</em><em> – </em><em>Assembly</em><em> </em>of<em> </em><em>Indonesia</em><em>n</em><em> Ulama</em><em>)</em>. To analyze these issues, I use a normative legal research with a conceptual approach. The fact that the fatwa of DSN-MUI has adopted many contracts <em>(al-‘uqûd)</em> both in single form and hybrid contract <em>(al-'uqûd al-murakkabah)</em>. There are two hybrid contracts namely that natural <em>(al-'uqûd al-murakkabah al-thabî'îyah)</em> is permissible, while law of hybrid contracts modified <em>(al-'uqûd al-murakkabah al-ta'dîlah)</em> is still depend on how to modify it. If the modification of the contracts does not violate the principle of hadith, then it is permissible. Otherwise, if there is a melting of contracts causing inter connected each others <em>(mu'allaq)</em> it is unlawful. Of the total contract is absorbed, there were approximately 60.68% using singgle contract and the remaining 39.32% using hybrid contract to be applied in modern transactions.</p> |
---|---|
ISSN: | 1907-591X 2442-3084 |