PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT DI PROVINSI BALI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Perkawinan bagi orang Bali-Hindu yang hidup dalam masyarakat hukum adat di Bali (dikenal dengan “desa adat†atau “desa pakramanâ€), relatif berbeda dengan perkawinan bagi masyarakat yang lainnya. Perbedaan ini terjadi sebagai konsekuensi sistem kekerabatan patrilenial atau purusadan kapurusa ya...

Full description

Bibliographic Details
Main Author: Putu Dyatmikawati
Format: Article
Language:Indonesian
Published: Law Faculty Doctor of Law Study Program Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 2011-08-01
Series:DiH
Online Access:http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/dih/article/view/273
id doaj-0f7a6b1f4cee4345b374135955fe39e4
record_format Article
spelling doaj-0f7a6b1f4cee4345b374135955fe39e42021-07-11T16:07:41ZindLaw Faculty Doctor of Law Study Program Universitas 17 Agustus 1945 SurabayaDiH0216-65342654-525X2011-08-0171410.30996/dih.v7i14.273203PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT DI PROVINSI BALI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINANPutu Dyatmikawati0Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas DwijendraPerkawinan bagi orang Bali-Hindu yang hidup dalam masyarakat hukum adat di Bali (dikenal dengan “desa adat†atau “desa pakramanâ€), relatif berbeda dengan perkawinan bagi masyarakat yang lainnya. Perbedaan ini terjadi sebagai konsekuensi sistem kekerabatan patrilenial atau purusadan kapurusa yang dianut. Sistem ini membawa konsekuensi adanya dua bentuk perkawinan, yaitu: (1) Perkawinan biasa (pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya); (2) Perkawinan nyentana atau nyeburin (pihak laki-laki yang meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga istrinya). Apabila calon pengantin tidak mungkin memilih bentuk perkawinan biasa dan bentuk perkawinan nyentana, maka akan dipilih bentuk perkawinan pada gelahang. Bentuk perkawinan ini masih menjadi pro dan kontra dalam masyarakat adat di Bali. Oleh karena itu perlu dilakukan kalian pada perkawinan Gelahang Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, Ditinjau dari Undang-Undang  No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kata kunci: Masyarakat Adat, Sistem Kekeluargaan, Perkawinan Pada Gelahang.http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/dih/article/view/273
collection DOAJ
language Indonesian
format Article
sources DOAJ
author Putu Dyatmikawati
spellingShingle Putu Dyatmikawati
PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT DI PROVINSI BALI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
DiH
author_facet Putu Dyatmikawati
author_sort Putu Dyatmikawati
title PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT DI PROVINSI BALI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
title_short PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT DI PROVINSI BALI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
title_full PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT DI PROVINSI BALI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
title_fullStr PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT DI PROVINSI BALI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
title_full_unstemmed PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT DI PROVINSI BALI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
title_sort perkawinan pada gelahang dalam masyarakat hukum adat di provinsi bali ditinjau dari undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
publisher Law Faculty Doctor of Law Study Program Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
series DiH
issn 0216-6534
2654-525X
publishDate 2011-08-01
description Perkawinan bagi orang Bali-Hindu yang hidup dalam masyarakat hukum adat di Bali (dikenal dengan “desa adat†atau “desa pakramanâ€), relatif berbeda dengan perkawinan bagi masyarakat yang lainnya. Perbedaan ini terjadi sebagai konsekuensi sistem kekerabatan patrilenial atau purusadan kapurusa yang dianut. Sistem ini membawa konsekuensi adanya dua bentuk perkawinan, yaitu: (1) Perkawinan biasa (pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya); (2) Perkawinan nyentana atau nyeburin (pihak laki-laki yang meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga istrinya). Apabila calon pengantin tidak mungkin memilih bentuk perkawinan biasa dan bentuk perkawinan nyentana, maka akan dipilih bentuk perkawinan pada gelahang. Bentuk perkawinan ini masih menjadi pro dan kontra dalam masyarakat adat di Bali. Oleh karena itu perlu dilakukan kalian pada perkawinan Gelahang Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, Ditinjau dari Undang-Undang  No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kata kunci: Masyarakat Adat, Sistem Kekeluargaan, Perkawinan Pada Gelahang.
url http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/dih/article/view/273
work_keys_str_mv AT putudyatmikawati perkawinanpadagelahangdalammasyarakathukumadatdiprovinsibaliditinjaudariundangundangno1tahun1974tentangperkawinan
_version_ 1721308414474190848